"It's nothing. It's just words" you said. Person talk in sense. Author write in purpose. Nothing meaningless when the brain and the heart pulled together.

Categories

Jumat, 06 Januari 2017

Lullaby




                Aku menyanyikan lagu masa kecil yang terlintas dalam sebuah ingatan singkat. Melipat lenganku di atas kusen jendela kayu dan mengingat secarik senyum yang pandai membuatku tenang. Malam yang sunyi untuk sebuah sabtu. Angin yang ringan menambah kesenyapan kala itu. Kira-kira apa yang kau lakukan sekarang? Apa yang kau pikirkan? Apakah kau juga sedang merindukanku seperti apa yang kurasa saat ini? Aku ingat di hari aku melihat mata teduh itu. Ya disana. Dekat bianglala yang berputar. Aku bisa melihat sedikit bagiannya dari sini. Saat kau berlari dengan mata yang berlinang dan aku dengan potato wedges-ku. Aku sangat ingat ketika kau buat kemejaku penuh dengan mayonnaise.
Pertemuan yang konyol.
Pertemuan yang indah.

“Ah, ma—maafkan aku” Ucapmu parau dengan kelopak mata yang basah.
“Tentu, tak apa ini hanya mayonnaise. “
Seorang laki-laki jangkung berambut pirang tampak gusar datang dari balik kerumunan dan mendekat. Kukira itu kekasihmu, atau lebih tepatnya mantan kekasihmu, untuk beberapa menit yang lalu.
Kau memalingkan wajah dan segera beranjak namun lelaki jangkung itu meraih lenganmu, mencegahmu pergi, “Jangan bersikap seperti itu. Bukankah ini keputusan yang tepat untuk kita berdua. Aku sudah tidak mencintaimu. Sudah waktunya kita berjalan pada jalan masing-masing.”
Sejenak aku berpikir untuk memukul laki-laki bajingan di hadapanku. Bodohnya aku tak melakukannya saat itu. Aku melihat kekecewaan di matamu. Begitu bergejolak hingga tak dapat kau luapkan.
“Ya! Ini memang keputusan yang tepat! Sangat tepat!” Mendadak kau menggengam pergelangan tanganku kencang, pergelangan seseorang yang bahkan kau tak tahu siapa namanya. “Terimakasih sudah mengakhiri hubungan konyol ini. Aku bahkan sudah menemukan cinta sejatiku! Perkenalkan, Alex!”
Apa wanita ini gila? Itulah kalimat pertama yang terlintas di otakku mengenaimu. Bagaimana tidak, kau bahkan mengarang namaku dengan begitu mudah, dan menggenggam tanganku seakan kita baru kemarin menikah.
“Hei! Ada apa in—“ Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku dan kau sudah menyeretku pergi.
Kurasa cukup jauh kau menyeretku hingga saat kau menghentikan langkahmu di depan jembatan tua. “Maafkan kelakuanku tadi,” Akhirnya kau bicara setelah lama membawaku berlari jauh dari karnaval. Bahkan aku tak sadar ini dimana. “Maafkan aku” isakmu lirih namun sangat jelas di telingaku. Kau terduduk dan menangis keras dengan kepala tertunduk di lengan.
Manis.
Entah apa yang kupikirkan. Aku bisa saja menyelesaikan semua ini dan pergi. Tapi aku tak bisa. Aku terpaku. Aku ingin menunggumu puas melampiaskan rasa sakitmu. Dan disana aku sadar.
Aku sadar aku jatuh cinta pada wanita yang kukenal 23 menit yang lalu.

Kau tahu? Satu hal yang tidak mereka ketahui tentangmu. Hatimu seputih bunga salju yang turun di puncak Himalaya. Itu mungkin terdengar berlebihan untukmu. Tapi memang begitulah aku melihatmu hingga saat ini. Cinta tanpa sedikitpun kepalsuan di dalamnya.
         Aku menatap langit. Terpaku pada bintang-bintang yang bersinar begitu terang tanpa sedikitpun awan kelabu yang disana. Seperti gliter pada gaun Cinderella? Ya begitulah. Dan sebuah kilatan putih yang hilang dalam hitungan detik.
            Bintang jatuh.
      Aku mengucap sebuah do'a. Hanya satu. Berharap kau melihat bintang itu juga. Dan mengingatku. Sebagaimana 3 tahun terahkir yang kita lalui.
              Apakah aku berhasil menyentuh hatimu?
              Apakah kau sudah mendapatkan cinta sejatimu?



Inspired by: Ed Sheeran—All of the Stars





Selasa, 03 Januari 2017

My Gigantic Enemy


“Hee aku bukan mini!” Sanggaku keras pada Pepi yang sudah mencemarkan nama baik tokoh Mei di postingan blognya.
“Terus apa? Cocokmu itu e”
“Kemasan praktis ndut!” Tegasku menyebutkan sebutan yang lebih berkelas ketimbang mini. Dasar gendut yang satu ini sangat rajin mem-bully bangsa mini sepertiku. Pada dasarnya postingan ini adalah balasan untuk postingannya yang berjudul ‘My Little Enemy’. Perkenalkan, namanya Pepi, seorang gigantic enemy. Mungkin kata ‘Enemy’ berkesan permusuhan, pertengkaran, ketidak akuran, pertikaian, peperangan, cakar-cakaran, tinju-tinjuan, dan saling meracun sianida. Namun dalam kamus kami, ‘musuh’ adalah kata yang dapat disejajarkan dengan 'rekan', ‘sahabat’, ‘karib’, atau ‘duo sejoli’. Sedikit rumit memang, namun begitulah kami, menertawakan satu sama lain  tanpa ada rasa tersinggung, singgung-menyinggung, apalagi berpotongan di titik P sehingga muncul (xp,yp) pada lingkaran berpusat (a,b). *apasih?
Aku tidak pernah lupa bagaimana awal permusuhan 1 semester –atau mungkin tepatnya permusuhan seumur hidup—kami terbentuk. Hari itu aku, Pepi, dan kawan-kawan baru selesai makan siang di food court. Seperti biasa, aku menjahili seorang temanku, Nai, dengan membuang sepatunya, yang kemudian ia balas dengan bully-an yang membuatku hampir melemparnya dengan botol air mineral kosong. Namun, SUGOII! Hidup Nai baru diselamatkan oleh Pepi yang mendadak membungkuk meletakkan piring kotor di antara aku dan Nai.
Pletakk!
“Aduh Mei!” teriak Pepi terkejut saat botol itu mendarat di kepalanya.
“Eh maaaaaaaf Peeeep, gak sengaja beneran..” jelasku sambil menyatukan kedua telapak tangan dengan tampang memohon.
“Kualat kan ya. Mangkannya kecil-kecil jangan lempar-lempar.” Ejek temanku mengompori keadaan.
Buuuush! Terbakarlah sang Pepi yang mulai komat-kamit bagai ibu Malin Kundang yang melontarkan kutukan.
“Aku dosa apa Mei? Wes gak terimo pokok e, mulai sekarang kita musuh sampai 1 semester mendatang.” Tegasnya dengan taring yang mendadak tumbuh digiginya.
Apa? Musuh?! Tidaaaaaak!! Pada siapa aku akan mencontek tugas matematika diskrit?! Lagi pula siapa suruh naruh kepala di tengah jalan.
Dan bully-an-bully-an ku padanya di hari-hari berikutnya makin memperpanjang masa aktif permusuhan kami.

***
 “Eh Mei, Pepi loh marah ke aku” Curhat Jason padaku di kelas Metode Statistika.
“Lho, kok bisa? Mbok bully ya?” Tebakku dengan yakin, sebagaimana keseharian si Jason.
“Kemarin, aku nunjuk bahunya kayak gini,” si Jason mengacungkan jari telunjuknya, kemudian menunjuk bahuku dengan jari telunjuknya itu. Sejenak ia diam, tapi kemudian berdesis kecil.
“Ceeeesss…” Jason menghentikan gesture-nya, “aku cuma gitu loh, terus dia marah.” Jelasnya dengan wajah sok polos tak berdosa.
Aku sedikit loading, dan super duper terkejutnya ketika aku faham bahwa maksudnya adalah ‘mengempesi’ku seperti balon yang ditusuk jarum.
Satu kata dalam hatiku.
KAMPR*T -___-
“Heh! Kurang asem! Kamu ngempesin Pepi mblo? Ya jelas marah lah dia!”
“HAHAHAHA! Aku cuma gitu loooh, alay gendut iku.” ‘Cuma’ katanya? Jujur itu menyebalkan, tapi jujur pula itu lucu dan membuatku tidak bisa menahan tawa. Ide Jason memang luarbiasa kreatif.
Yap, sohibku yang satu ini memang luarbiasa konyol. Tapi sepertinya gesture tadi patut dipraktikkan pada gigantic enemy hwahahahaha *evil laugh.

***
“Hai Pep.” Sapaku dengan seringai lebar pada musuh gigantic-ku. Yes. Pepi adalah musuh yang paling sempurna untuk dimusuhi. Pem-bully jumbo nan ulung yang tak pernah keluar jadwal dari rutinitas pem-bully-annya. Namun  diluar pem-bully-an tersebut, ia adalah sosok yang sangat care, peka, sekaligus sederhana. Bagiku seorang karib tidak hanya ada untuk bercanda bersama, tetapi mampu membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, tidak ada saling menyembunyikan, dengan kata lain mengatakan kebaikan dan keburukan kita apa adanya, dan memberi masukan dalam setiap masalah sekalipun solusinya tidak membantu. *ojok nge-fly Pep
Ah, aku baru saja membuang banyak space untuk memujinya. Ok, kembali pada penghinaan.
“Apa til?”
“Tal til tal til! Mbok kira aku kutil? Dasar bisul!” balasku tak terima disebut kutil.
“Lha kamu kecil, mbetik, bikin gatel kayak kutil.” Wew! Lengkap sudah jabatanku. Tapi masuk akal juga sih. Tiba-tiba aku ingin pergi ke toko klontong membeli se-box salep kulit untuknya.
Aku yang tidak terima mulai mengeluarkan jurus andalan ajaran Jason-sensei. Ku acungkan jariku dan…
Cheeeeessssssssssssssss
“Anjaaaay! KURANG ASEM KENCUR GAREEEEM!”
“Gulanya belum Pep” Selaku melengkapi resep sayur asemnya yang nampaknya kurang pas tanpa gula. “Sudah jangan bikin ribut, ikut aku dong ndut.” Kualihkan pembicaraan sebelum Pepi memasukkanku ke dalam salah satu item resep sayur asemnya.
“He, ilingo! Yang bikin ribut siapa coba? Mau ke mana sih?”
“Aku mau cetak foto.”
“Ya berangkat sendiri kenapa?”
“Itu masalahnya,” Aku mengeluarkan wajah memelas andalanku, “aku gak tau jalannya.”
“Ya elah.. Ya udah wes ayo. Entar kalo ilang siapa yang repot.”
Kon buaek anceeen!” Segera ku tarik tangannya untuk menuju tempat parkir.

***
Dengan usaha yang luar biasa akhirnya aku berhasil mengeluarkan motorku yang terjepit diantara motor-motor lain yang berjajar padat. Bagaimanapun si dugong satu ini sama sekali tidak peka untuk berusaha membantuku. Sedari tadi Pepi hanya bengong dan berdiri diam dengan sesekali menatapku acuh dengan motor yang bebannya serasa 15 kali bobot tubuhku. Entah dia tidak memperhatikan atau memang Pepi adalah spesies dugong yang menyamar menjadi manusia untuk bisa bersekolah dan belajar menjadi sedikit lebih peka.
“Kok lama sih Mei?” tanyanya tak berdosa.
“Su-susah ta-tau! Gak diban-tuin!” Tegasku dengan jengkel dan ngos-ngosan setelah beradu beban dengan motor tercintaku ini.
“Hahaha! Sorry sengaja til. Lha kamu lucu kalo lagi usaha ngeluarin motor. Kaya semut angkat tabung elpiji.”
Lucu ya?
LUCUUU?!!
What the *tiiiiiiiiiit*!
“Sabar til sabar. Aku tahu beban hidupmu selama ini bersama motor itu. Tapi gak papa, biar cepet gede dan berotot Mei.” Sepertinya ia berusaha meredahkan amukanku. Tapi sumpah demi dugong terbang itu tidak terdengar sebagai kalimat peredah amarah. “Ya sudah sini biar aku gonceng,” ia meminta kontakku dan segera mengambil alih motor yang sudah kekeluarkan dengan susah payah, “siapa nih yang pakai helm?”
“Kamu ajalah.”
“Yakin nih? Gak takut pecah?”
Aku berusaha menahan tawa. Tiba-tiba imajinasi nakal berkelabat di atas kepalaku. Membayangkan Pepi berusaha mengenakan helm yang mana perbandingan helm dan kepala adalah satu banding tiga puluh tujuh, kemudian ketika helm itu berhasil Pepi pakai, mendadak helmnya pecah seperti gelas panas yang dimasukkan ke dalam kulkas. Sugguh naas nasib helm tersebut. Untung saja aku membeli helm ini dengan ukuran yang cukup besar.
“Gak lah ndut, lebay deh. Lagian itu ukurannya XL.” Ujarku berusaha Meyakinkan sekaligus meningkatkan rasa percaya diri Pepi akan ke-dugongan-nya.
“Eh iya muat. Gak nyangka kutil sekecil kamu pakai helm segede ini.” Meskipun menusuk hingga tembus, tapi kalimatnya membuatku menghela nafas lega. Untunglah aku tidak perlu membeli helm baru karenanya, “okedeh, cus!”
Kamipun berangkat dengan sekali gas dan kembali dengan tidak tepat waktu. Kami masuk ke kelas dan mendapati dosen sudah mulai menjelaskan panjang lebar mengenai keterbagian dan modulo. Ah! Tidak masalah, memang sekali-kali perlu untuk melakukan hal nakal kata Pepi. Lebih baik hadir daripada tidak sama sekali, itu adalah salah satu ucapan dosen favorit yang sangat bijak dan menjadi pertimbanganku untuk tidak takut mengikuti perkuliahan meskipun datang sangat terlambat. *Harap tidak ditiru

***
Ada banyak hal yang menjadi alasan Pepi memperpanjang permusuhan kami. Dari 1 semester, 1 tahun, 1 dekade, hingga mungkin sekarang sudah menjadi 1 abad, salah satunya adalah karena aku meneriakkan namanya ketika dosen EC kami bertanya siapa yang paling rajin update status. Dan Pepi pun melipat gandakan permusuhan menjadi 1 lustrum.
Hal yang sama juga kulakukan ketika pelajaran matematika diskrit berlangsung. Hari itu Jason menunjukku untuk maju. Sialnya, aku diminta dosen menuliskan penjelasannya hingga menghabiskan 2 papan dan satu kali hapus, jadi jika ditotal aku sudah menulis sepanjang 4 papan. Bukan tanganku yang lelah, tapi kepalaku yang super tengeng karena harus menengadah selama 2 jam ketika menulis—berhubung letak papan yang lebih tinggi dibandingkan jangkauan tanganku—sekalipun aku sudah menjinjit. Aku mendengar teman-teman tertawa selagi pak dosen mem-bully-ku by saying just second-just second. Dan seketika aku menangkap tawa paling keras berasal dari si duo kadal Pepi dan Jason. Niat jahat langsung menghantui pikiranku. Karena Jason sudah menulis di depan sebelumku, maka aku tahu siapa orang selanjutnya yang akan menjadi korban pak dosen diskrit ini. Dengan nawaitu nunjuk Pepi habis ini lillahitaalla aku pun tertawa kejam dalam diam.
Aku menarik nafas lega setelah tugas ‘dua jam menjadi asisten dosen’-ku selesai. Tak lama senyum legaku menjadi tawa jahat ketika dosen berkata, “Choose a friend”.
“Heh Mei,” Jason mendekat dan membisikkan ide kejamnya, “Pepi aja Mei”.
  “Yoi, pasti!” Aku mengacungkan jempol dan tertawa jahat, “aku sudah niat loh”.
    Pepi yang mendengar dari belakangpun berusaha mencegah, “He! Jangan milih aku loh Mei! Tak kasih upil kon!”
Aku sedikit bingung mengapa dia suka menawarkan upil padaku. Mungkin dia punya produksi upil yang berlebih sehingga dengan dermawan membagikannya kepadaku dan teman-teman. Jika upilnya bisa terjual seharga emas, aku akan menjual produk upil Pepi beraneka rupa dan rasa dengan harga 15 Ponsterling kemudian membuka pabrik upil yang aku yakin tujuh Negara besar akan bersedia bekerjasama denganku. Kemudian dengan uang yang kuperoleh aku akan meng-clonning Pepi untuk menciptakan Pepi-Pepi baru sehingga produksi pabrikku meningkat. Akan kubeli Gedung Putih milik Amerika dan membuat peternakan Pepi yang luas di depannya. Aku berjanji untuk tidak menjadi saudagar kaya yang kejam pada karyawan. Aku akan menggaji Pepi-Pepi ini lima ribu rupiah tiap tahun dan sesekali mengajak mereka bermain ke kebun binatang untuk reuni dengan kawan-kawannya. Dengan upil Pepi yang barokah aku bisa membeli pesawat jet pribadi untuk pergi ke berbagai kebun binatang ternama di Madagascar.
Just choose a friend,” tiba-tiba angan-anganku menjadi miliuner karena upil Pepi menguap ketika dosen kembali memintaku untuk menunjuk seorang teman. Dengan niat yang keukuh dan didukung hasutan Jason untuk menunjuk Pepi, seperti hantu sudoko aku menoleh perlahan dengan seringai lebar dan tatapan kejam tepat ke arah musuh bebuyutan di belakangku.
Who?” Tanya pak dosen agar aku memperjelas siapa yang kutunjuk.
“Pepi sir!” dengan tegas dan gagah berani kuikrarkan namanya. HAHAHAHAHAHAH! Aku dan Jason tertawa lepas dan puas.
Pepi berdiri dengan berat hati. Berulang kali ia melemparkan tatapan nanar ke arahku selama di depan. Dia marah? Tentu saja. Aku peduli? Tidak. Hahaa. Matanya seakan berkata “Awas ya Mei, tak makan kamu habis ini”. Dan dengan ini aku yakin permusuhan antara kami akan berlangsung hingga generasi baru dari galaksi Bimasakti terbentuk.