“Hee aku bukan mini!” Sanggaku
keras pada Pepi yang sudah mencemarkan nama baik tokoh Mei di postingan
blognya.
“Terus apa? Cocokmu itu e”
“Kemasan praktis ndut!” Tegasku
menyebutkan sebutan yang lebih berkelas ketimbang mini. Dasar gendut yang satu
ini sangat rajin mem-bully bangsa
mini sepertiku. Pada dasarnya postingan ini adalah balasan untuk postingannya
yang berjudul ‘My Little Enemy’.
Perkenalkan, namanya Pepi, seorang gigantic
enemy. Mungkin kata ‘Enemy’
berkesan permusuhan, pertengkaran, ketidak akuran, pertikaian, peperangan,
cakar-cakaran, tinju-tinjuan, dan saling meracun sianida. Namun dalam kamus
kami, ‘musuh’ adalah kata yang dapat disejajarkan dengan 'rekan', ‘sahabat’, ‘karib’,
atau ‘duo sejoli’. Sedikit rumit memang, namun begitulah kami, menertawakan
satu sama lain tanpa ada rasa
tersinggung, singgung-menyinggung, apalagi berpotongan di titik P sehingga
muncul (xp,yp) pada lingkaran berpusat (a,b). *apasih?
Aku tidak pernah lupa bagaimana
awal permusuhan 1 semester –atau mungkin tepatnya permusuhan seumur hidup—kami
terbentuk. Hari itu aku, Pepi, dan kawan-kawan baru selesai makan siang di food court. Seperti biasa, aku menjahili
seorang temanku, Nai, dengan membuang sepatunya, yang kemudian ia balas dengan bully-an yang membuatku hampir
melemparnya dengan botol air mineral kosong. Namun, SUGOII! Hidup Nai baru diselamatkan oleh Pepi yang mendadak
membungkuk meletakkan piring kotor di antara aku dan Nai.
Pletakk!
“Aduh Mei!” teriak Pepi
terkejut saat botol itu mendarat di kepalanya.
“Eh maaaaaaaf Peeeep, gak
sengaja beneran..” jelasku sambil menyatukan kedua telapak tangan dengan
tampang memohon.
“Kualat kan ya. Mangkannya
kecil-kecil jangan lempar-lempar.” Ejek temanku mengompori keadaan.
Buuuush! Terbakarlah sang Pepi yang mulai komat-kamit bagai
ibu Malin Kundang yang melontarkan kutukan.
“Aku dosa apa Mei? Wes gak terimo pokok e, mulai sekarang
kita musuh sampai 1 semester mendatang.” Tegasnya dengan taring yang mendadak
tumbuh digiginya.
Apa? Musuh?! Tidaaaaaak!! Pada
siapa aku akan mencontek tugas matematika diskrit?! Lagi pula siapa suruh naruh
kepala di tengah jalan.
Dan bully-an-bully-an ku
padanya di hari-hari berikutnya makin memperpanjang masa aktif permusuhan kami.
***
“Eh Mei, Pepi loh marah ke aku” Curhat Jason
padaku di kelas Metode Statistika.
“Lho, kok bisa? Mbok bully ya?” Tebakku dengan yakin,
sebagaimana keseharian si Jason.
“Kemarin, aku nunjuk bahunya
kayak gini,” si Jason mengacungkan jari telunjuknya, kemudian menunjuk bahuku
dengan jari telunjuknya itu. Sejenak ia diam, tapi kemudian berdesis kecil.
“Ceeeesss…” Jason menghentikan gesture-nya, “aku cuma gitu loh, terus
dia marah.” Jelasnya dengan wajah sok polos tak berdosa.
Aku sedikit loading, dan super duper terkejutnya ketika aku faham bahwa maksudnya adalah
‘mengempesi’ku seperti balon yang ditusuk jarum.
Satu kata dalam hatiku.
KAMPR*T -___-
“Heh! Kurang asem! Kamu ngempesin Pepi
mblo? Ya jelas marah lah dia!”
“HAHAHAHA! Aku cuma gitu loooh,
alay gendut iku.” ‘Cuma’ katanya? Jujur itu menyebalkan, tapi jujur pula itu
lucu dan membuatku tidak bisa menahan tawa. Ide Jason memang luarbiasa kreatif.
Yap, sohibku yang satu ini
memang luarbiasa konyol. Tapi sepertinya gesture
tadi patut dipraktikkan pada gigantic
enemy hwahahahaha *evil laugh.
***
“Hai Pep.” Sapaku dengan
seringai lebar pada musuh gigantic-ku.
Yes. Pepi adalah musuh yang paling sempurna untuk dimusuhi. Pem-bully jumbo nan ulung yang tak pernah
keluar jadwal dari rutinitas pem-bully-annya.
Namun diluar pem-bully-an tersebut, ia adalah sosok yang sangat care, peka, sekaligus sederhana. Bagiku seorang karib tidak hanya
ada untuk bercanda bersama, tetapi mampu membantu kita menjadi pribadi yang
lebih baik, tidak ada saling menyembunyikan, dengan kata lain mengatakan
kebaikan dan keburukan kita apa adanya, dan memberi masukan dalam setiap
masalah sekalipun solusinya tidak membantu. *ojok nge-fly Pep
Ah, aku baru saja membuang
banyak space untuk memujinya. Ok,
kembali pada penghinaan.
“Apa til?”
“Tal til tal til! Mbok kira aku kutil? Dasar bisul!”
balasku tak terima disebut kutil.
“Lha kamu kecil, mbetik, bikin gatel kayak kutil.” Wew!
Lengkap sudah jabatanku. Tapi masuk akal juga sih. Tiba-tiba aku ingin pergi ke
toko klontong membeli se-box salep kulit untuknya.
Aku yang tidak terima mulai
mengeluarkan jurus andalan ajaran Jason-sensei. Ku acungkan jariku dan…
Cheeeeessssssssssssssss
“Anjaaaay! KURANG ASEM KENCUR
GAREEEEM!”
“Gulanya belum Pep” Selaku
melengkapi resep sayur asemnya yang nampaknya kurang pas tanpa gula. “Sudah
jangan bikin ribut, ikut aku dong ndut.” Kualihkan pembicaraan sebelum Pepi
memasukkanku ke dalam salah satu item resep sayur asemnya.
“He, ilingo! Yang bikin ribut siapa coba? Mau ke mana sih?”
“Aku mau cetak foto.”
“Ya berangkat sendiri kenapa?”
“Itu masalahnya,” Aku
mengeluarkan wajah memelas andalanku, “aku gak tau jalannya.”
“Ya elah.. Ya udah wes ayo.
Entar kalo ilang siapa yang repot.”
“Kon buaek anceeen!” Segera ku tarik tangannya untuk menuju tempat
parkir.
***
Dengan usaha yang luar biasa
akhirnya aku berhasil mengeluarkan motorku yang terjepit diantara motor-motor
lain yang berjajar padat. Bagaimanapun si dugong satu ini sama sekali tidak
peka untuk berusaha membantuku. Sedari tadi Pepi hanya bengong dan berdiri diam
dengan sesekali menatapku acuh dengan motor yang bebannya serasa 15 kali bobot
tubuhku. Entah dia tidak memperhatikan atau memang Pepi adalah spesies dugong
yang menyamar menjadi manusia untuk bisa bersekolah dan belajar menjadi sedikit
lebih peka.
“Kok lama sih Mei?” tanyanya
tak berdosa.
“Su-susah ta-tau! Gak
diban-tuin!” Tegasku dengan jengkel dan ngos-ngosan
setelah beradu beban dengan motor tercintaku ini.
“Hahaha! Sorry sengaja til. Lha
kamu lucu kalo lagi usaha ngeluarin motor. Kaya semut angkat tabung elpiji.”
Lucu ya?
LUCUUU?!!
What the *tiiiiiiiiiit*!
“Sabar til sabar. Aku tahu
beban hidupmu selama ini bersama motor itu. Tapi gak papa, biar cepet gede dan
berotot Mei.” Sepertinya ia berusaha meredahkan amukanku. Tapi sumpah demi
dugong terbang itu tidak terdengar sebagai kalimat peredah amarah. “Ya sudah
sini biar aku gonceng,” ia meminta kontakku dan segera mengambil alih motor
yang sudah kekeluarkan dengan susah payah, “siapa nih yang pakai helm?”
“Kamu ajalah.”
“Yakin nih? Gak takut pecah?”
Aku berusaha menahan tawa.
Tiba-tiba imajinasi nakal berkelabat di atas kepalaku. Membayangkan Pepi
berusaha mengenakan helm yang mana perbandingan helm dan kepala adalah satu
banding tiga puluh tujuh, kemudian ketika helm itu berhasil Pepi pakai,
mendadak helmnya pecah seperti gelas panas yang dimasukkan ke dalam kulkas.
Sugguh naas nasib helm tersebut. Untung saja aku membeli helm ini dengan ukuran
yang cukup besar.
“Gak lah ndut, lebay deh. Lagian itu ukurannya XL.”
Ujarku berusaha Meyakinkan sekaligus meningkatkan rasa percaya diri Pepi akan
ke-dugongan-nya.
“Eh iya muat. Gak nyangka kutil
sekecil kamu pakai helm segede ini.” Meskipun menusuk hingga tembus, tapi
kalimatnya membuatku menghela nafas lega. Untunglah aku tidak perlu membeli
helm baru karenanya, “okedeh, cus!”
Kamipun berangkat dengan sekali
gas dan kembali dengan tidak tepat waktu. Kami masuk ke kelas dan mendapati dosen
sudah mulai menjelaskan panjang lebar mengenai keterbagian dan modulo. Ah!
Tidak masalah, memang sekali-kali perlu untuk melakukan hal nakal kata Pepi. Lebih baik hadir daripada tidak sama sekali,
itu adalah salah satu ucapan dosen favorit yang sangat bijak dan menjadi
pertimbanganku untuk tidak takut mengikuti perkuliahan meskipun datang sangat
terlambat. *Harap tidak ditiru
***
Ada banyak
hal yang menjadi alasan Pepi memperpanjang permusuhan kami. Dari 1 semester, 1
tahun, 1 dekade, hingga mungkin sekarang sudah menjadi 1 abad, salah satunya
adalah karena aku meneriakkan namanya ketika dosen EC kami bertanya siapa yang
paling rajin update status. Dan Pepi
pun melipat gandakan permusuhan menjadi 1 lustrum.
Hal yang
sama juga kulakukan ketika pelajaran matematika diskrit berlangsung. Hari itu Jason
menunjukku untuk maju. Sialnya, aku diminta dosen menuliskan penjelasannya
hingga menghabiskan 2 papan dan satu kali hapus, jadi jika ditotal aku sudah
menulis sepanjang 4 papan. Bukan tanganku yang lelah, tapi kepalaku yang super tengeng karena harus menengadah selama 2
jam ketika menulis—berhubung letak papan yang lebih tinggi dibandingkan
jangkauan tanganku—sekalipun aku sudah menjinjit. Aku mendengar teman-teman
tertawa selagi pak dosen mem-bully-ku
by saying just second-just second. Dan seketika aku menangkap tawa
paling keras berasal dari si duo
kadal Pepi dan Jason. Niat jahat langsung menghantui pikiranku. Karena Jason
sudah menulis di depan sebelumku, maka aku tahu siapa orang selanjutnya yang
akan menjadi korban pak dosen diskrit ini. Dengan nawaitu nunjuk Pepi habis
ini lillahitaalla aku pun tertawa kejam dalam diam.
Aku menarik
nafas lega setelah tugas ‘dua jam menjadi asisten dosen’-ku selesai. Tak lama
senyum legaku menjadi tawa jahat ketika dosen berkata, “Choose a friend”.
“Heh Mei,” Jason
mendekat dan membisikkan ide kejamnya, “Pepi aja Mei”.
“Yoi,
pasti!” Aku mengacungkan jempol dan tertawa jahat, “aku sudah niat loh”.
Pepi
yang mendengar dari belakangpun berusaha mencegah, “He! Jangan milih aku loh Mei!
Tak kasih upil kon!”
Aku sedikit
bingung mengapa dia suka menawarkan upil padaku. Mungkin dia punya produksi
upil yang berlebih sehingga dengan dermawan membagikannya kepadaku dan
teman-teman. Jika upilnya bisa terjual seharga emas, aku akan menjual produk
upil Pepi beraneka rupa dan rasa dengan harga 15 Ponsterling kemudian membuka
pabrik upil yang aku yakin tujuh Negara besar akan bersedia bekerjasama denganku.
Kemudian dengan uang yang kuperoleh aku akan meng-clonning Pepi untuk menciptakan Pepi-Pepi baru sehingga produksi
pabrikku meningkat. Akan kubeli Gedung Putih milik Amerika dan membuat
peternakan Pepi yang luas di depannya. Aku berjanji untuk tidak menjadi
saudagar kaya yang kejam pada karyawan. Aku akan menggaji Pepi-Pepi ini lima
ribu rupiah tiap tahun dan sesekali mengajak mereka bermain ke kebun binatang
untuk reuni dengan kawan-kawannya. Dengan upil Pepi yang barokah aku bisa membeli pesawat jet pribadi untuk pergi ke
berbagai kebun binatang ternama di Madagascar.
“Just choose a friend,” tiba-tiba
angan-anganku menjadi miliuner karena upil Pepi menguap ketika dosen kembali
memintaku untuk menunjuk seorang teman. Dengan niat yang keukuh dan didukung hasutan Jason untuk menunjuk Pepi, seperti
hantu sudoko aku menoleh perlahan dengan seringai lebar dan tatapan kejam tepat
ke arah musuh bebuyutan di belakangku.
“Who?” Tanya pak dosen agar aku
memperjelas siapa yang kutunjuk.
“Pepi sir!” dengan tegas dan gagah berani
kuikrarkan namanya. HAHAHAHAHAHAH! Aku dan Jason tertawa lepas dan puas.
Pepi berdiri
dengan berat hati. Berulang kali ia melemparkan tatapan nanar ke arahku selama
di depan. Dia marah? Tentu saja. Aku peduli? Tidak. Hahaa. Matanya seakan berkata
“Awas ya Mei, tak makan kamu habis ini”. Dan dengan ini aku yakin permusuhan
antara kami akan berlangsung hingga generasi baru dari galaksi Bimasakti
terbentuk.