Aku menyanyikan
lagu masa kecil yang terlintas dalam sebuah ingatan singkat. Melipat lenganku
di atas kusen jendela kayu dan mengingat secarik senyum yang pandai membuatku
tenang. Malam yang sunyi untuk sebuah sabtu. Angin yang ringan menambah kesenyapan
kala itu. Kira-kira apa yang kau lakukan sekarang? Apa yang kau pikirkan? Apakah
kau juga sedang merindukanku seperti apa yang kurasa saat ini? Aku ingat di
hari aku melihat mata teduh itu. Ya disana. Dekat bianglala yang berputar. Aku
bisa melihat sedikit bagiannya dari sini. Saat kau berlari dengan mata yang
berlinang dan aku dengan potato wedges-ku. Aku sangat ingat
ketika kau buat kemejaku penuh dengan mayonnaise.
Pertemuan yang konyol.
Pertemuan yang indah.
“Ah,
ma—maafkan aku” Ucapmu parau dengan kelopak mata yang basah.
“Tentu,
tak apa ini hanya mayonnaise. “
Seorang
laki-laki jangkung berambut pirang tampak gusar datang dari balik kerumunan dan
mendekat. Kukira itu kekasihmu, atau lebih tepatnya mantan kekasihmu, untuk
beberapa menit yang lalu.
Kau
memalingkan wajah dan segera beranjak namun lelaki jangkung itu meraih lenganmu,
mencegahmu pergi, “Jangan bersikap seperti itu. Bukankah ini keputusan yang
tepat untuk kita berdua. Aku sudah tidak mencintaimu. Sudah waktunya kita
berjalan pada jalan masing-masing.”
Sejenak
aku berpikir untuk memukul laki-laki bajingan di hadapanku. Bodohnya aku tak
melakukannya saat itu. Aku melihat kekecewaan di matamu. Begitu bergejolak
hingga tak dapat kau luapkan.
“Ya!
Ini memang keputusan yang tepat! Sangat tepat!” Mendadak kau menggengam pergelangan
tanganku kencang, pergelangan seseorang yang bahkan kau tak tahu siapa namanya.
“Terimakasih sudah mengakhiri hubungan konyol ini. Aku bahkan sudah menemukan
cinta sejatiku! Perkenalkan, Alex!”
Apa
wanita ini gila? Itulah kalimat pertama yang terlintas di otakku mengenaimu. Bagaimana
tidak, kau bahkan mengarang namaku dengan begitu mudah, dan menggenggam
tanganku seakan kita baru kemarin menikah.
“Hei!
Ada apa in—“ Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku dan kau sudah menyeretku
pergi.
Kurasa
cukup jauh kau menyeretku hingga saat kau menghentikan langkahmu di depan
jembatan tua. “Maafkan kelakuanku tadi,” Akhirnya kau bicara setelah lama membawaku
berlari jauh dari karnaval. Bahkan aku tak sadar ini dimana. “Maafkan aku” isakmu
lirih namun sangat jelas di telingaku. Kau terduduk dan menangis keras dengan
kepala tertunduk di lengan.
Manis.
Entah
apa yang kupikirkan. Aku bisa saja menyelesaikan semua ini dan pergi. Tapi aku
tak bisa. Aku terpaku. Aku ingin menunggumu puas melampiaskan rasa sakitmu. Dan
disana aku sadar.
Aku
sadar aku jatuh cinta pada wanita yang kukenal 23 menit yang lalu.
Kau tahu? Satu hal yang tidak mereka
ketahui tentangmu. Hatimu seputih bunga salju yang turun di puncak Himalaya.
Itu mungkin terdengar berlebihan untukmu. Tapi memang begitulah aku melihatmu
hingga saat ini. Cinta tanpa sedikitpun kepalsuan di dalamnya.
Aku menatap
langit. Terpaku pada bintang-bintang yang bersinar begitu terang tanpa
sedikitpun awan kelabu yang disana. Seperti gliter pada gaun Cinderella? Ya
begitulah. Dan sebuah kilatan putih yang hilang dalam hitungan detik.
Bintang jatuh.
Aku mengucap
sebuah do'a. Hanya satu. Berharap kau melihat bintang itu juga. Dan
mengingatku. Sebagaimana 3 tahun terahkir yang kita lalui.
Apakah aku
berhasil menyentuh hatimu?
Apakah kau
sudah mendapatkan cinta sejatimu?
Inspired by: Ed Sheeran—All of the Stars